Patriarkal VS Matriarkal






Saya teringat pelajaran Antropologi saat SMA kelas 3, tentang sistem kekeluargaan. Waktu itu, Antropologi menjadi mata pelajaran favorit setelah sejarah dan tata negara, karena saya bisa tahu lebih dalam tentang budaya masyarakat. Tidak tahu kenapa beberapa hari ini saya tertarik untuk kembali mengingat-ingat sub mata pelajaran itu.



Patriarkal adalah sistem kekeluargaan di mana garis keturunan laki-laki(ayah), sebaliknya dengan matriarkal, lebih condong ke garis keturunan ibu. Mungkin itu definisi sederhananya. Saya semakin tertarik, karena saya lahir dan hidup di Jawa, yang menganut paham patriarki. Saya juga harus ingat bahwa nenek saya keturunan Padang, yang terikat pada budaya matriarki. Budaya Jawa yang super halus, karena saya tinggal di Solo dan mengharuskan saya mengikutinya, terkadang cukup menyulitkan. Sikap, tingkah laku, tutur kata, dan segala macam perbuatan harus benar-benar mencerminkan Soloisme. Didikan orang tua, ayah, yang paling saya ingat sampai sekarang, kalau perempuan dilarang tertawa keras-keras, saru(tidak pantas-red), katanya. Sebisa mungkin senyum atau tertawa dengan menutup mulut, saat tertawa. Bayangkan, bukannya tertawa itu aktivitas spontan. 


Peristiwa yang mencerminkan Soloisme terutama patriarkal, bagi saya, adalah, kebiasaan menyiapkan sarapan atau teh untuk suami. Sebenarnya bukan sesuatu yang istimewa, sebab sudah menjadi kewajiban bila istri melayani suami.   Dari urusan tempat tidur, dapur, bahkan hal terkecil seperti tea time. Tapi membuat saya tergelitik, acara tea time ini sangat jarang terjadi di keluarga saya. Di mana, ibu harus selalu menyiapkan segelas teh hangat untuk bapak. Malah, hal terkadang ayah membuatkan teh untuk ibu bahkan saya, dan juga adik. Bukan bermaksud untuk memutarbalikkan peran, tapi ayah ikhlas melakukan hal ini. 
Di keluarga pakdhe, saya melihat setiap pagi budhe harus menyiapkan segelas teh hangat ditambah cemilan, sebagai kudapan pagi untuk suami tercintanya. Pernah suatu saat, saya mengetahui kalau budhe tidak melakukan kebiasaan tersebut. Alhasil, terjadi pertengkaran kecil, pakdhe marah sama budhe saya. Mengingat kejadian ini, saya selalu tersenyum.


Ibu saya bukanlah murni orang Padang, karena beliau dapat blasteran Jawa. Kakek saya, seorang militer asal Jawa yang bertemu dengan nenek di Aceh ketika zaman perjuangan dulu. Yah, itu cerita yang saya dengar, seperti dongeng saja.
Ibu lahir di Jawa, sama seperti saya. Meskipun begitu, ibu sempat tinggal di Padang dalam waktu yang cukup lama, sehingga budaya Minang tidak pernah hilang dari ingatannya. Sampai sekarang, sering sekali beliau mentransfer budaya itu pada saya dan adik. Ibu pun sering bercerita mengenai sanak saudara dan  keluarga yang menetap di sana. Tentang keluarga mandeh(budhe dalam bahasa Padang), etek(bulik ), dan hal-hal lain yang berbau Minang dan ke-Padang-Padang-an. Darah Padang saya tidak terlalu banyak, tetapi didikan menjadi seorang Padang bisa dikatakan bersaing dengan asuhan Jawaisme. Jika ada waktu bersama ibu menonton teve, selalu ada saja bahan mata kuliah Minang yang harus saya dengarkan. Terkadang sub mata kuliah, sudah pernah diajarkan di pertemuan sebelumnya, tapi selalu diulang-ulang. Uff..


Di sisi lain, ayah saya juga melakukan hal yang sama. dan yang pasti, tentang Jawaisme. Namun, intensitasnya tidak sebanyak yang ibu lakukan. Bisa dikatakan 20% melawan 80 %. Nah, patriarki vs matriarki. Mana, yang harus saya anut.


Persaingan tidak hanya selesai sampai di situ. karena kompetisi sebenarnya ada di dunia luar. Ketika feminisme muncul memperjuangkan hak wanita. Sebuah gerakan pembebasan perempuan untuk mengeksistensikan dirinya. Tidak mau dinomorduakan setelah laki-laki.. tidak ingin dikekang oleh ikatan patriarki... "bebas".. Muncul istilah gender yang diartikan sebagai konstruksi sosial bagi perempuan dan laki-laki khususnya pembedaan tanggung jawab. Dengan begitu, diperlihatkan secara jelas bahwa gender berkaitan dengan ketidakadilan sosial tentang jenis kelamin, kecuali mengenai hal-hal yang bersifat biologis. 
Gender mengotak-kotakkan apa yang bisa dilakukan wanita, apa yang tak boleh. Pria memiliki tugas dan peran sebagai pemimpin rumah tangga. Berangkat mencari nafkah, pulang, lelah, dan dilayani. Perempuan, ada di rumah, bersama anak, dan mengurus dapur. Akan tetapi, perkembangan zaman, terutama tuntutan ekonomi, membuat wanita berani melangkahkan kaki ke luar rumah. Sekarang ini, perempuan semakin menujukkan bahwa mereka bisa menjadi apa yang lelaki bisa dalam karir dan finansial. 


Mungkin ini, mengenai persamaan hak  di mana wanita dan pria dapat memasuki dunia yang sama. Pria bekerja, wanita pun bisa, Pria jadi kepala rumah tangga, wanita juga bisa melakukannya. Tapi, bagi saya wanita dan pria kan memang beda, kenapa harus disama-samakan?!. 


Persaingan Patriarki vs Matriarki semakin memanas ketika agama menjadi minyak penyulut kobaran pertarungan. Seolah-olah menjadi feminisme vs agama. Dalam keyakinan saya, istri memang harus "tunduk" pada suami. Wanita harus patuh pada suaminya, untuk apapun selama tak melanggar perintah Tuhan ku. Disebutkan pula dalam sebuah hadist, HR Ahmad dan Ibnu Majah, Dari Aisyah ra, sesungguhnya Nabi SAW, bersabda " Sekira-kira aku memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan seorang istri bersujud kepada suaminya. Sekiranya seorang suami menyuruh istri-istrinya memindahkan bukit merah ke bukit putih dan dari bukit putih ke bukit merah, tentu kewajibannya ialah melaksanakan (perintahnya) itu."


Sungguh dasyatnya kutipan hadist itu, yang membuat saya semakin terpana bahwa seorang pria memiliki kekuatan besar untuk "menggengam" perempuan. Sistem patriarki, mau tak mau, yang berjalan. Dan di keyakinan manapun juga menyatakan hal yang sama, dengan bukti kemunculan feminisme yang diawali di dunia barat, di mana mayoritas penduduknya beragama Yahudi, Khatolik dlsb. 


Kemudian Nabi ku pernah bersabda, ".....Sesungguhnya seandainya aku(boleh) menyuruh seseorang sujud kepada selain Allah, tentu akan aku suruh perempuan sujud kepada suaminya. demi Dzat yang diri Muhammad dalam kekuasaan-Nya, tidaklah seorang perempuan menunaikan hak Tuhannya, sehingga ia menunaikan hak suaminya, dan seandainya suaminya menghendaki dirinya, sedang ia di atas kendaraan, maka tidak boleh ia menolaknya."


Semakin terpatri dalam pikiran saya, bahwa memang patriarki yang dianut agama saya. 


Feminisme muncul, ketika para perempuan lelah dengan apa yang menurut pencipta istilah itu mengalami ketertindasan. Tidak bisa melakukan ini, dianggap tak mampu untuk itu, seperti yang umumnya dilakukan para lelaki. Sebagian perempuan(yang berpaham feminis) menginginkan kesetaraan, keadilan, dan perlakuan yang sama. Mereka juga bisa bekerja, menghasilkan uang, mendidik anak, bahkan katanya perempuan kadang-kadang lebih bisa diandalkan untuk melakukan hal kecil yang seharusnya dilakukan lelaki, seperti membetulkan genteng bocor.Sungguh ironi..Muncul berbagai macam konfrensi, seminar, lembaga-lembaga yang memperjuangkan hak-hak perempuan, yang beragama feminis. Saking feminisnya ada pula, perempuan yang rela hidup sendiri sampai mati, untuk mendapatkan kebebasan seumur hidup. Tapi benarkah feminisme akan benar-benar memberikan kebebasan untuk para wanita? 


Di lain sisi, saya yang terlalu takut menentang ajaran agama, meski sadar atau tidak saya juga pernah melanggarnya. Membuat saya, kadang berontak untuk mengikutinya. Tapi, agama memang tidak bisa dikompromikan. Wahyu Tuhan, yang katanya dosa bila kita menentang.


Saya tak ingin menetang Tuhan, tapi saya juga tak mau dinomorduakan. Saya ingin kesetaraan dalam definisi saya sendiri. Karena, laki-laki dan perempuan bukankah diciptakan untuk saling melengkapi. Dianugerahi kemampuan yang berbeda, punya tanggung jawab berbeda, hak, dan kewajiban berbeda. Sebenarnya mereka bergantung satu sama lain. Tidak bisa tidak. Yang menjadi pertanyaan saya, bisakah perempuan dan laki-laki berada pada level yang sama, untuk memberikan kebebasan pada perempuan tanpa mengesampingkan perintah agama. 




  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

3 komentar:

Unknown said...

permisi mbak, apakah saya bisa bertanya lebih jelas tentang budaya patriarki menurut pandangan mbak?

rini said...

bagus banget artikelnya, perlu disayangkan bahwa patriarki vs martiarki sering menjadi perdebatan baik lingkungan budaya,agama,dan masyarakat.....sangat susah untuk menjelaskan pada masyarakat kita untuk mempersamakan keadilan untuk gender laki laki dan perempuan tanpa menghilangkan kodratnya sebagai mana mestinya

rini said...

bagus banget artikelnya, perlu disayangkan bahwa patriarki vs martiarki sering menjadi perdebatan baik lingkungan budaya,agama,dan masyarakat.....sangat susah untuk menjelaskan pada masyarakat kita untuk mempersamakan keadilan untuk gender laki laki dan perempuan tanpa menghilangkan kodratnya sebagai mana mestinya