Keluarga adalah Rumah dan Tujuan Tempat Kita Pulang


Gambar di atas dipinjam dari : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjZO4W_NllZajdJubaJjjmvp2D32dgEEtRhITNJUTc2YR3EMB2k8zHXWYmshtGV3pEVJ4NtlL9h5uo52sNN9UrFQnq3WiBE1HByUA2c3flHQeDIWXoag8FAt-jOpifa6J58b3M-ZG4NKw8/s660/cartoon_house.jpg


rumah merupakan tempat berkumpul keluarga, tapi bisa dibalik keluarga merupakan rumah tempat tujuan untuk pulang.
keluarga dalam arti sebenarnya adalah kumpulan orang2 yang memiliki hubungan darah. hidup bersama orang tua dan saudara2 yang meskipun memiliki ikatan lahiriah, bukan berarti banyak kesamaan.

berawal dari keluargalah karakter seseorang dibentuk meski tidak secara mutlak. keluarga memberikan peran penting dalam pendidikan awal seseorang.
jika seseorang dididik secara keras oleh keluarganya, dia bisa menjadi orang yang kuat dan tahan banting. tetapi, begitu pula sebaliknya. keluarga yang mengajarkan dan memperkenalkan kemudahan hidup pada seseorang, bisa membentuk dia menjadi sosok yang mudah rapuh.

fungsi keluarga adalah menyosialisasikan nilai(dikutip dari majalah femina no.52/xxxvii hlm.41)
berbagai nilai diperkenalkan oleh keluarga. dan tiap2 keluarga memiliki cara dan ciri khas mengajarkan nilai2 tersebut.
cara menyosialisasikan nilai inilah yang berbeda2. ada dengan cara keras, lembut, penuh kasih sayang, atau mungkin perpaduan ketiganya.

sering kali pengenalan penyosialisasian nilai tersebut tidak berjalan lancar. timbul percekcokan antara yang dididik dengan yang mendidik. terjadi perbedaan intrepetasi nilai2 kehidupan antara orang tua dan anak.
percekcokan, berdebat, adu argumen adalah cara yang wajar dalam pentransferan nilai dalam keluarga.
tetapi tidak jarang perbedaan pendapat menjadi tidak sehat, ketika antara yang dididik dan yg mendidik tidak menjalin komunikasi yang baik untuk menyamakan persepsi nilai2 tersebut.
anak dianggap "memberontak", ketika dia tidak menuruti kehendak orang tua.
orang tua dianggap pendekte dan pengekang, dikala anak diharuskan mengiyakan keinginan orang tua.
pada klimaks tertentu, amarah, egoisme, dan rasa menjadi yang paling benar menghinggapi pikiran2 keduanya, sehingga terciptalah istilah "anak harus patuh pada orang tua" atau "tindakan orang tua tidak selalu benar". api2 kecil yang terjadi secara terus menerus, mampu memicu tindakan2 yang diluar batas nalar pikiran manusia seperti anak rela minggat dan melupakan orang tua, bahkan pemutusan kekerabatan. padahal jika terjalin suatu komunikasi keluarga yang baik, semua perdebatan akan menghantarkan keduanya pada titik keintiman antara orang tua dan anak.
tidak perlu ada sebutan "anak durhaka". tidak perlu ada istilah "orang tua diktator". selayaknya "duduk bersama dan bicara" menjadi ritual yang gemar dilakukan untuk mensharingkan segala sesuatu, dari hal sepele hingga terberat. berani membuka diri, berinstropeksi menuju kedewasaan sebagai orang tua maupun anak.

tidak ada hubungan mulus tanpa cacat. tak ada pula kisah yang manis tanpa tragedi kepahitan. begitu pula dalam hubungan keluarga
seberat apa pun ketidaknyamanan yang bisa timbul di dalam keluarga

keluarga akan selalu menjadi rumah dan tujuan tempat kita pulang.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kebenaran Berselingkuh


gambar di atas di pinjam dari :   http ://bayex.files.wordpress.com/2009/01/selingkuh-1.jpg



Selingkuh, merupakan kata-kata yang tidak diinginkan di setiap hubungan. Entah itu pertemanan, hubungan percintaan, bahkan dalam relasi bentuk apa pun. Selingkuh diartikan sebagai bentuk pengkhianatan akan sebuah komitmen yang telah disepakati.
Namun, perselingkuhan bisa menjadi awal mula ”jalan introspeksi” diri dalam menjalin suatu hubungan. Apakah kita sudah menjadi orang yang cukup baik dalam membina suatu hubungan, tidak baik, atau malah kategori orang yang tidak memiliki ketrampilan sama sekali untuk membina hubungan?

            Setiap perselingkuhan pasti akan menuai konflik dan menimbulkan rasa sakit-rasa sakit yang bisa memicu kebencian. Kebencian yang akan mengikis kasih yang besar, rasa cinta yang dalam, dan yang pasti akan memudarkan kepercayaan yang telah kita tanam pada seseorang. Kalau pun rasa sakit itu bisa sembuh, tentunya waktu menjadi obat paling mujarab untuk memberi pemaafan atas kesalahan besar tersebut. Tinggal berapa waktu yang kita butuhkan. Lama atau singkat. Akan tetapi, kepercayaan yang diberikan setelah itu, tak akan pernah sama seperti sebelumnya. Turun drastis, bahkan rasa percaya itu akan hanya menjadi sekedar formalitas, embel-embel dari pemberian maaf. Karena pada dasarnya, sebuah luka akan selalu meninggalkan bekas, bukan?!

Tapi, ada satu hal yang sering terlewatkan dan jarang ditelusuri apa sebenarnya latar belakang dari perbuatan selingkuh itu. Pernahkah kita mencoba berfikir mengapa perselingkuhan itu terjadi?

Pernah ingat, beberapa kasus yang memprihatinkan muncul di televisi, ketika seorang suami tega menembak istrinya yang diduga berselingkuh dengan tetangganya. Padahal kita tidak tahu, apakah memang terjadi perelingkuhan antara sang istri dan si tetangga. Atau cerita, seorang istri yang menyiram suaminya dengan air panas, karena disangka ada ”main gila” dengan wanita lain. Kita sebagai penonton berita memang tidak tahu pasti, kronologis kejadian perselingkuhan itu. Sudah berapa lamakah sang suami mencurigai istrinya berselingkuh. Perselingkuhan seperti apa yang dilakukan suami yang disiram air panas. Kita sebagai penonton hanya diberi kesimpulan berita yang durasinya paling mentok satu menit, dan di narasi berita itu, terdengar kata ”diduga”. ”Seorang suami menyiram air panas ke istrinya yang diduga berselingkuh”, itulah sebaris kata-kata yang sering terdengar dalam pemberitaan perselingkuhan. Praduga-praduga yang dibeberkan. Tanpa ada konfirmasi terlebih dahulu dari orang yang dianggap ”pelaku”.

 Bukannya memberi pembenaran pada perselingkuhan, karena yang namanya selingkuh, sama dengan khianat adalah suatu kesalahan. Tapi coba, dengan segala kerendahan hati, sedikit bersabar, dan mau menahan emosi, mencoba mencari tahu kenapa sesuatu yang tidak diinginkan ini terjadi.

Mungkin contoh peristiwa di atas terlalu ekstrim dan akibatnya sangat menyedihkan. Jika kita mengamati lingkungan sekitar, yang paling sederhana sajalah, mendapati seorang teman yang curhat pada kita tentang love relationship yang bermasalah karena orang ketiga.  Mereka bercerita mengebu-gebu, penuh amarah, rasa kesal dan jengkel, menyalahkan pasangan mereka yang berselingkuh. Tidak terima di duakan, ditiga, diempat, atau diberapakan. Tergantung berapa orang yang lain yang dipacari oleh pasangan teman kita itu (Sempat ya, memacari sekian orang sekaligus?). Atau saat kita melihat program televisi ”Orang Ketiga” yang katanya reality show itu. Diakhir acara kita mendapati, si pengintai, saya menyebut demikian, orang yang menjadi detektif dadakan, mengikuti kegiatan-kegiatan orang-orang yang dikira berselingkuh itu. Dan di akhir acara, setelah kisah perselingkuhan terkuak, si pengintai dengan emosi yang besar, terlihat kalap, tidak terkontrol, marah besar atas tindakan orang yang diintainya. Mereka meluapkan kekesalan dengan pukulan jika pengintainya laki-laki, atau kalau si pengintai perempuan, sudah pasti ada adegan menjual air mata. Para pengintai itu melontarkan umpatan, menyalahkan target intaian mereka ”Kenapa kamu tega menyelingkuhi saya?” atau ”Seharusnya kamu tidak melakukan hal itu !”.

  Rasa tidak terima itu wajar, siapa sih yang mau dikhianati?! Tapi alangkah baiknya kita menyingkapi kejadian yang menyakitkan ini dengan lebih bijak, tidak dengan amarah yang brutal, meskipun sulit sekali untuk dilakukan. Sekali lagi, dengan menahan emosi, mencari tahu kenapa pasangan kita berselingkuh. Apakah karena kita menjadi seseorang yang tidak seperti yang diharapkan oleh pasangan kita? Apakah kita tidak punya cukup waktu untuk membina hubungan dengan pasangan kita? Apakah kita terlalu sibuk untuk memiliki waktu bersama pasangan kita? Apakah kita menjadi tidak menarik di mata pasangan kita, karena orang lain? Apakah kita menjadi seseorang yang membosankan setelah sekian lama menjalin hubungan dengan pasangan kita, dan menyebabkan pasangan kita tertarik orang lain? Atau, apakah sebenarnya pasangan kita sudah ingin mengakhiri hubungan dengan kita, tetapi tidak tahu cara mengkomunikasikannya? Dan keburu suka dengan yang lain. Atau yang paling menyebalkan, karena memang pasangan kita memiliki bakat untuk berselingkuh.

Dari pertanyaan spele hingga berat, selayaknya muncul di benak kita untuk menjawab alasan perselingkuhan tersebut. Inilah jalan instrospeksi diri yang menyakitkan. Baik itu untuk kita sendiri atau pun untuk pasangan kita. Ya, jika dari pertanyaan-pertanyaan itu bisa membuat kita lebih memperbaiki diri dan juga pasangan.  Tapi kalau tidak, pastilah harus diakhiri. Pertanyaan-pertanyaan di atas, mampu menjadi jembatan untuk mengetahui seberapa baikkah kita sebagai individu pelaku hubungan interaksi lawan jenis, memiliki kapabilitas yang cukup untuk menjaga kelangengan suatu hubungan.

Ketika perselingkuhan dilakukan oleh pasangan kita, seringkali kita menyalahkannya. Terlalu gengsi, bagi sebagian besar orang untuk kembali berkaca dan menanyakan pada dirinya sendiri. Benarkah kemenduaan tersebut, memang kesalahan pasangan kita. Terlalu naif, saat kita selalu merasa benar, karena kita merasa diri kita sebagai korban, bukan pelaku. Tapi, sangat jarang bukan, kita berfikir apakah kita turut menyumbangkan dan memberi ”dukungan” dengan berperilaku tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pasangan.

Perselingkuhan sebagai salah satu jalan berintrospeksi diri merupakan suatu kesimpulan yang mungkin tidak pas untuk beberapa orang. Tapi, jika mungkin hal ini terjadi, sebaiknya kita lebih bijak mengambil keputusan dalam suatu hubungan. Duka atau bahagia, dalam menjalin suatu hubungan, merupakan proses dan cara yang natural untuk mengajari kita lebih terampil dalam menyingkapi segala hal yang mungkin terjadi dalam relationship of love.

Tulisan ini dibuat, bukan sebagai pelegal perselingkuhan, tapi paling tidak mensuport kita untuk berfikir dengan kepala dingin ketika menghadapi peristiwa yang tidak menyenangkan ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Setia Memberi



Sang punya hidup menciptakan mahkluk di bumi menjadi tiga , tumbuhan, hewan, dan manusia. Manusia dengan segala talenta menjadi raja dari dua ciptaaNya yang lain. Si omnivora yang berhak untuk mengkonsumsi hewan atau pun tumbuhan yang ada di sekitarnya. Dan hewan yang berada di posisi kedua dalam hal strata kemahklukan.
Seperti kita tahu, hewan dapat digolongkan dalam omnivora, karnivora, atau pun herbivora. Sama seperti manusia yang juga dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok tersebut. Namun, kecenderungan menjadi omnivora memiliki presentase yang lebih besar, karena manusia pada dasarnya memiliki sifat rakus ingin mencoba segalanya.
Istilah vegetarian yang marak untuk dipraktekkan adalah simbol perlawanan manusia terhadap kerakusan diri sendiri atau rasa cinta yang teramat dalam kepada binatang yang ada di sekitarnya.
banyak sekali petisi, perjanjian yang mendukung perlindungan terhadap hewan. Pelarangan penggunaan kulit hewan sebagai bahan pakaian atau memakan hewan dalam jumlah besar.
Rantai makanan selalu memposisikan tumbuhan di tingkat awal kemudian konsumen tingkat pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya. Tumbuhan diposisikan di tempat yang pertama, karena memang dia yang mampu memproduksi apa yang kita, para manusia butuhkan, untuk melangsungkan hidup.
Kita mengambil apa yang diproduksi oleh tumbuhan. Udara yang membantu kita bernafas dengan gratis. Makanan yang memberi asupan gizi dan mencharge energi tubuh kita. Tidak bisa dibayangkan kinerja tumbuhan yang begitu canggih memproses segala sesuatu yang dibutuhkan oleh dua mahkluk unggulan Tuhan, hewan dan manusia, yang mampu bergerak ke mana saja. Sedangkan tumbuhan sendiri lebih memilih berdiam diri memfokuskan pekerjaannya menolah segala ampas yang kita keluarkan.
Sungguh tidak mudah ketika kita mencoba belajar untuk mengadopsi sifat tumbuhan yang setia memberi tanpa mengeluh untuk mengharapkan imbalan. Karena dalam berbuat mau tak mau, kita telah terbiasa mengharapkan sesuatu dari apa yang kita keluarkan. Mungkin pengharapan itu dapat secara implisit atau eksplisit. Ada yang secra terang-terangan menginginkannya. Tapi ada pula yang lugu dan malu jika mereka, para manusia, jujur untuk mengakuinya.
Selama hidup, manusia lebih banyak berkonstribusi sebagai konsumen. Menghabiskan dan menikmati segala apa yang dikaruniakan pencipta. Karena memang kita adalah mahkluk yang paling sempurna dengan akal, rasa, dan kepekaan. Namun, terkadang kita terlalu terlena dengan predikat sempurna yang menempel secara harafiah.
Kesempurnaan ini sepertinya menghalalkan kita untuk memperlakukan mahkluk lain seenaknya demi mencukupi kebutuhan. Tidakkah kita terfikir untuk memperlakukan mereka  lebih baik sejak awal. Di mana memang ada timbal balik yang layak dan sepadan terhadap dua mahkluk lain. Bukan karena kita terdesak dan merasa rugi akan perbuatan kita sendiri.
Belajar dari tumbuhan, pohon-pohon, memang tak ada habisnya. mereka tak perlu bergerak untuk bisa menolong yang lain. Selalu mengolah apa yang menurut kita buruk menjadi sesuatu yang berguna. Mengelola sampah untuk dijadikan sesuatu yang memiliki nilai. Dan yang pasti mereka setia memberi..meski keadaan mereka selalu di tingkat paling bawah...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Jingga di Hatiku




Ceria.................
Gembira.................
Tertawa....................
Mimpi................
Ambisi................
Energi..................
Semangat................
Hangat................
Seimbang...........
Mengembang.............
Resah...........
Gelisah..............
tak mau punah................

Jingga di Hatiku................untuk menggapai mu dan Mu


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS